Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan
yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. Ada 2 jenis
blangkon yaitu gaya Surakarta (Sala) dan gaya Yogyakarta. Blangkon gaya
Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Blangkon iku sejatine wujud modern lan praktis saka iket. Iket digawe saka kain batik
sing radha dawa banjur dililitake miturut cara-cara lilitan tinentu
neng kepala. Lilitan kain iku kudhu isa nutup kabeh kepala (ndhuwur kuping).
Lilitane kudhu kenceng dadi ora gampang ucul. Jaman saiki iket iki wis
luwih praktis merga lilitane wis didadi wis dijait dadi blangkon. Ana 2
jinis utama iket yaiku gaya Solo sing mburine trepes lan gaya Yogya sing ana mondolan neng mburine.
Memahami
budaya Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern) seperti saya yang
juga orang Jawa tulen masih saja kesulitan. Orang Jawa senang mbulet dan tidak to the point. Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya penolakan halus, padahal hatinya mau. Maka orang sering mengatakan orang Jawa itu ya dalam ketidakan dan tidak dalam keiyaan.
Jangan salah sangka orang Jawa yang halus berbahasa mlipir
sesuai dengan sifatnya yang halus. Justru harus diwaspadai apabila ada
yang di depan kita bersikap halus bak sutra tetapi dibelakang dia
sebenarnya musuh dalm selimut. Sebagai orang Jawa pun saya sering
terbentur dan tertipu dengan sikap yang sangat kontradiksi ini. Tutur
kata dan sikap santun yang ditunjukkan hanyalah untuk menutupi niat
dalam hati.
Maka falsafah
blangkon layak disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu. Dari
depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), persis dengan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud sebenarnya dari sebuah sikap yang menipu.
Foto diperoleh dari: Java Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar